Senin, 15 Oktober 2018

Tempat wisata murah dan cukup menantang? CURUG LAWE jawabannya.

Apa yang ada di benak kalian saat mendengar nama "Curug Lawe"? terdengar asing atau justru sudah sering mendengar dan sudah sering kesana?


Curug Lawe adalah sebuah tempat wisata air terjun yang berada di Ungaran Barat. Tidak terlalu jauh dari Semarang dan juga tidak terlalu jauh dari Salatiga. Curug ini dinamakan Curug Lawe karena air yang jatuh dari atas tebing terlihat bagai benang-benang putih yang dalam bahasa jawa disebut Lawe. Ada juga yang bilang kalau air yang jatuh dari atas tebing berjumlah 25 yg dalam bahasa Jawa disebut selawe. By the way, saya sih gak kepikiran menghitung jumlah air terjun yang ada di curug ini karena begitu sampai disini saya hanya bisa terpaku, terdiam tanpa kata sangking takjubnya sama tempat ini. KERAN gaeeeess...! KEREN maksudnya.



Begitu saya sampai disini, saya langsung disuguhkan pemandangan alam yang sangat memanjakan mata. Desiran angin dan cipratan air terjun yang mengenai tubuh saya, membuat saya tidak sabar untuk segera melepas sepatu saya dan bermain air sepuasnya tanpa kenal malu. Saat saya sampai disini, sudah banyak pengunjung lain yang datang duluan dan berswafoto dengan gaya mereka masing-masing. Ada yang menaiki bangkai pohon yang tumbang dan berjongkok sambil memakai kacamata hitam yang menutupi wajah sangking besarnya tapi pede saja, ada juga yang sengaja menumpuk batu-batu yang ada di curug ini setinggi mungkin lalu difoto dengan mengacungkan jempol. Pokoknya ada saja yang dilakukan kawula muda ditempat ini, untuk mengekspresikan kebahagian mereka bisa sampai tempat ini. Apakah yang datang ke curug ini hanya anak muda saja? Oh, tentu tidak. Banyak juga kok orang tua yang datang ke curug ini. Bahkan saat saya ke curug ini, saya berpapasan dengan sepasang kakek nenek dan cucunya yang sedang berjalan santai sambil memegang tongkat kayu dengan sedikit nafas yang megap-megap tetapi mereka menikmati.


Kalau kalian berkunjung ke curug ini, kalian akan menemukan sebuah jembatan, namanya "Jembatan Romantis". Saya gak tau sih, lebih tepatnya gak mencari tau mengapa jembatan ini disebut jembatan romantis. Mungkin karena jembatan ini sedikit licin dan jalannya harus hati-hati, sehingga pengunjung yang melewati jembatan ini sengaja atau tidak sengaja akan bergandengan tangan dan terlihat romantis, gitchu kali yeeee... Lalu bagaimana dengan mereka yang jomblo? mau gandengan sama siapa? Tenang sobat! Kamu gak sendiri, tuh ada pagar pembatas besi warna merah yang kuat dan kokoh bisa kok dijadikan gandengan dan peganganmu. Woles aje shay...
Waktu saya melewati jembatan ini ada banner bertuliskan 'MAKSIMAL 5 ORANG YANG BOLEH MELEWATI JEMBATAN ROMANTIS". Tapi, banner tersebut sudah lepas dari pohon alias pengunjung tidak akan tahu tentang peringatan ini karena banner peringatan tersebut tidak terpampang dengan jelas dan tidak bisa dibaca oleh para pengunjung (kalau mata kalian jeli, kalian pasti bisa menemukan dimana banner peringatan itu jatuh). Waktu saya mau melewati jembatan ini, saya melihat ada lebih dari 5 orang yang berdiri diatas jembatan tua ini. Berhubung saya phobia terhadap ketinggian, maka saya menunggu para pengunjung yang sedang berswafoto di jembatan ini untuk lewat duluan sembari saya menyiapkan nyali dan menarik napas dalam-dalam untuk bisa melewati jembatan ini dengan sekali foto.



Ada satu pohon yang sangat unik yang menarik pandangan saya. Saya tidak tahu itu pohon apa (silahkan bertanya pada ahli tumbuh-tumbuhan), yang jelas batang pohon tersebut bentuknya meliuk-liuk. Rasa hati ingin sekali bergelantungan di batang pohon tersebut, tapi apa daya nyali saya ciut ketika melihat sisi kiri tempat teman saya berdiri itu adalah jurang. Huuuuu cemen lo..!
Ketika dalam perjalanan menuju curug, saya disuguhkan pemandangan tumpukan sandal yang ditancapkan ke ranting pohon kering sehingga menyerupai pohon sandal. Saya kurang paham sih maksud dari pohon sandal ini. Mungkin sandal-sandal tersebut adalah sandal pengunjung yang tertinggal dan sudah rusak. Dari pada dibuang atau dibakar mending dijadikan pajangan, gitu kali ya? Entahlah. Saya sebenarnya ingin menancapkan sepatu saya di pohon sandal karena sepatu saya juga sudah rusak, tapi saya ingat kalau saya tidak punya sepatu cadangan sebagai penggantinya. Jadi, foto lepas sepatu aja kali ya... (kode biar segera dibelikan sepatu baru).




#amuijainsoul #amuijasoulofadventure

Untuk bisa sampai di curug ini, kita hanya dikenakan biaya masuk sebesar Rp 4000,- dan parkir motor sebesar Rp 2000,- saja. Murah banget kan? tapi tempatnya gak murahan. Buat kamu yang mau melangsingkan badan dan membakar lemak, bisa banget ke curug ini. Waktu yang ditempuh dari tempat parkir menuju curug Lawe kurang lebih 30 menit jalan kaki. Ya...setara dengan naik motor Salatiga-Ungaran lah. Kalau laper dan lupa gak bawa makanan atau camilan, tenang aja. Di sepanjang jalan gerbang utama banyak warung makan yang berjejeran menjajakan makanan dan minuman bagi para pengunjung. Harga? Relatif lah, namanya juga tempat wisata. Kalau mau murah dan hemat ya bawa sendiri bekal dari rumah.
Oh iya, kalau kalian beruntung saat mengunjungi tempat ini kalian bisa bertemu dengan kera ekor panjang warna hitam yang sedang bergelantungan dan berloncat ria dari satu pohon ke pohon lainnya. Berhubung saya beruntung, jadi saya bisa melihatnya secara langsung dengan jelas walaupun tidak saya abadikan dalam bentuk foto. Wish you luck....
Segini dulu ya cerita yang saya bagikan tentang Curug Lawe. Buat kalian yang punya cerita lebih seru atau fakta-fakta baru tentang tempat ini, boleh banget share ceritanya. Saya tunggu ya :) Bye...

Kapan kita kemana? ke Ngipik aja. Kuy..!

"dimana may?", tanya seorang teman saya melalui pesan wasap. "di salatiga nih, lagi ada urusan habis itu balik kost ungaran", balas saya. "tak culik ya. siap-siap pokok'e", balasnya. Teman saya memang hobi "meculik" saya dan membawa saya ke suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi. Pukul 22.00 kami bersama rombongan Pendaki Indonesia Semarang berangkat menuju Ngipik. Waktu perjalanan dari Ungaran yang dibutuhkan untuk sampai bukit Ngipik kurang lebih 1 jam kali ya. Jika motor yang kamu tunggangi kuat terhadap medan jalan yang menanjak tajam, hanya perlu waktu 1 jam kurang. Ternyata ditengah jalan, kami dan paklek beserta istri dan anaknya terpisah dengan rombongan lain. Alhasil kami harus mencari jalan sendiri (karena teman saya dan paklek sudah lupa sama jalannya, sangking lamanya sudah tidak ke bukit Ngipik) dan puji Tuhan sempat kesasar dong ya... Setelah tanya warga sekitar daerah Lerep, akhirnya kami memutuskan untuk melewati perkebunan kopi daerah Lerep agar cepat sampai tujuan. Tapi, minusnya jalanan yang akan kami lalui sangat menanjak dan lebar jalan perkebunan kopi itu hanya sekitar satu meteran lah. Pada tanjakan pertama, honda paklek mogok karena beban carier dan istrinya yang terlalu berat. Akhirnya anaknya paklek diikutkan motor yang kami kendarai untuk mengurangi beban motornya. Sampailah kami di bukit Ngipik tepat pukul 23.15 waktu Ngipik dan sekitarnya. Sesampainya disana, kami mendirikan tenda untuk kami beristirahat. Saya sendiri sudah gak kuat melek lagi, mata sudah dua watt. akhirnya saya memutuskan untuk tidur duluan dan berharap besok pagi bisa menikmati sunrise yang aduhai indah memesona.

Tepat pukul 04.15 alarm hp saya berbunyi dan saya langsung ngulet sejenak, mengkedip-kedipkan mata seraya mengumpulkan nyawa. melihat yang lain masih pada tidur, sebenarnya saya mau tidur lagi tapi pikiran saya sudah tertuju pada sunrise. membuka pintu tenda dan ... "masih agak gelep ih. kabutnya tebel banget, putih semua. mataharinya malu-malu mau keluar nih", kata saya berbicara sendiri tanpa ada yang menyauri. Pukul 05.00 saya melihat kabut sudah mulai berkurang dan langit berubah warna orange kemerahan. Saya langsung memakai sepatu, keluar tenda dan menuju lahan kosong tidak jauh dari tenda. Kata saya dalam hati "view seperti ini sepertinya pernah tak lihat dan rasa juga, tapi dimana ya?" dan tiba-tiba ingatan saya kembali pada bukit Kendil. yap...! tepat sekali...! view dari bukit Ngipik hampir sama penampakannya dengan bukit Kendil. Hanya saja yang membedakan, kalau di bukit Kendil kita bisa melihat dengan leluasa pemandangan yang ada di depan mata kita, nampak jelas lah walaupun berkabut. Kalau di bukit Ngipik, kita tidak leluasa menikmati pemandangan di depan mata karena terhalang alang-alang dan rumput yang tinggi. Tapi, gak buruk-buruk amat kok view sunrisenya.

view dari depan area camp
Sunset dan sunrise selalu mengingatkan saya pada kekasih hati. Setiap melihat sunset ataupun sunrise pikiran saya langsung tertuju pada kekasih hati yang sedang berada jauh dari saya saat ini. Melihat sunrise di bukit Ngipik menjadi obat rindu saya terhadapnya, ketika matahari itu muncul perlahan dan mengubah langit menjadi rona kemerahan saat itu juga saya merasa dia sedang bersama saya menikmati sunrise bersama. Meski kau kini jauh disana, kita memandang langit yang sama, jauh di mata namun dekat di hati (RAN-Dekat di hati).

hey... aku rindu :)
Kabut masih sangat tebal, tetapi matahari tidak mau kalah menampakkan dirinya  semakin dan semakin tinngi. Cantik dan memesona siapapun yang melihatnya. Saat saya berkunjung ke bukit ini, musimnya masih musim kemarau. Jadi, ya tau sendiri lah bagaimana kering dan berdebunya tempat ini. For your information, buat kalian yang mau ngecamp di bukit Ngipik bisa banget mendirikan tenda di area kebun kopi, tenda yang kalian dirikan akan berada diantara tanaman kopi. Tanahnya gimana? datar atau bergelombang? Gak semua tanah di area camp datar dan cocok untuk didirikan tenda, ada juga yang blenduk atau bergelombang. Pintar-pintar kalian saja untuk mencari lahan yang pas. Area camp tidak begitu luas, jadi gak bisa menampung tenda dalam jumlah besar. mungkin hanya bisa menampung sekitar 15-20 tenda kapasitas 2-3 orang. Oh iya, di area camp juga ada pohon-pohon  yang tumbuh berjejeran jadi kalian bisa banget membentangkan hammock untuk leyeh-leyeh sembari menikmati sunrise.

area camp

Sampai sini dulu ya cerita dari bukit Ngipik. Monggo siapa saja bisa berkunjung kesini untuk sekedar camp dan melihat sunrise atau sekedar leyeh-leyeh di hammock sembari menikmati secangkir kopi luwak di bukit ini. Oh ada kopi luwak? iya ada. Info yang saya dapat sih, petani kopi bukit Ngipik suka ngumpulin kotoran luwak yang biasanya ada di kebun kopi mereka. Per ons untuk kopi luwak dibandrol dengan harga 50 ribu. Cuma segitu aja sih info yang saya dapat dari orang sekitar. Mungkin teman-teman ada yang mau menambahkan cerita baru yang lebih seru terkait bukit Ngipik dan kopi luwak bukit Ngipik? jangan ragu-ragu untuk share ya :)

sunrise di bukit Ngipik
tanaman bunga kertas ada dimana-mana
Ngaglik, Nyatnyono, Ungaran Barat, Semarang, Jawa Tengah.

Pernikahan Beda Gereja

                  Menikah bukanlah impian bagi semua orang. Tapi bisa menikah dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita adalah ...